JAKARTA - Suatu saat masyarakat di dua kawasan: Kampung Katab (Batak) dan Kampung Awaj (Jawa) geger. Kabar beredar, ada babi hutan alias celeng yang mengganggu ketentraman warga.
Karena meresahkan, masyarakat dipimpin ketua RT (Marwoto) mencoba memburu si celeng. Saking susahnya, pak RT berupaya mencari tahu dari roh leluhur bagaimana cara mengusir celeng.
Baca juga: Selain Bernyanyi, Shae Tunjukkan Kemampuan Lewat Bermain Teater
Singkat cerita, ketahuan ternyata celeng yang sempat mabuk (oleng) ternyata merupakan isu murahan, kabar jadi-jadian yang diembuskan RT untuk menumbalkan seseorang (agar pergi dari kampung) dan mendapatkan harta karunnya.
Pentas Celeng Oleng yang berlangsung kurang lebih 4 jam pada 5-6 Juli 2019 itu mengajak masyarakat untuk merefleksikan kembali perjalanan yang dialami selama ini.
Dengan mementaskan lakon Celeng Oleng -pentas ke-32 yang didukung Bakti Budaya Djarum Foundation- kita seolah diajak untuk melihat diri dan masyarakat yang masih memiliki kecenderungan bertikai dan bersilang pendapat atas alasan perbedaan, terutama dalam hal etnis dan agama.
Butet Kartaredjasa sang produser acara ini menyebutkan, celeng merupakan simbol kerakusan, ketamakan, semena-mena, perilaku srudak-sruduk asal gasak, menafikan aturan dan hukum.
"Kita menyadari watak celeng bukan monopoli sebuah zaman. Ia bisa hadir setiap saat. Rezim boleh berganti, tapi nyatanya celeng-celeng senantiasa mewarnai kehidupan."ujar Butet.
Menurut Butet, yang tak bakal berubah watak celeng tetap menjadi musuh utama demokrasi yang memuliakan asas keberimbangan, tata krama, keadilan dan kemanusiaan.
Baca juga: Gara-Gara Istri, Bambang Pamungkas Ketagihan Main Teater