JAKARTA - Artikel Okezone kali ini akan membahas film-film tentang sejarah Indonesia yang dilarang tayang di bioskop. Film-film ini dilarang karena dianggap dapat mengganggu stabilitas negara dan menimbulkan perdebatan mengenai sejarah bangsa Indonesia.
6 Film tentang Sejarah Indonesia yang Dicekal dari Bioskop
1. Pagar Kawat Berduri (1961)
Film Pagar Kawat Berduri adalah produksi Indonesia tahun 1961 yang disutradarai oleh Asrul Sani dan diperankan oleh Sukarno M. Noor serta Bernard Ijzerdraat. Film ini mengisahkan tentang sejumlah pejuang yang ditawan di sebuah kamp Belanda pada masa revolusi fisik. Meskipun banyak yang berusaha untuk melarikan diri, namun tidak semudah itu dilakukan. Di tengah-tengah upaya untuk mencari jalan keluar, Parman (Sukarno M. Noor) malah membina hubungan persahabatan dengan Koenen (B. Ijzerdraat), seorang perwira Belanda. Parman mendekati Koenen dengan maksud untuk mendapatkan informasi penting.
Parman berhasil mendapatkan informasi bahwa Herman dan Toto akan dibunuh. Mereka kemudian diberikan catut untuk memotong kawat berduri. Herman berhasil melarikan diri, namun Toto tertembak. Akhirnya, Parman juga berhasil dijemput karena dialah yang memimpin pelarian tersebut. Para pejuang menyadari bahwa Parman sebenarnya bukanlah seorang pengkhianat.

2. Max Havelaar (1976)
Max Havelaar (judul lengkap: Max Havelaar of de koffieveilingen der Nederlandsche handelsmaatschappij) adalah film tahun 1976 yang diadaptasi dari buku berjudul sama karya Multatuli.
Film ini disutradarai oleh Fons Rademakers dan melibatkan beberapa aktris Indonesia seperti Rima Melati. Meskipun film ini tidak terlalu populer di Indonesia, bahkan sempat dilarang beredar oleh pemerintah Orde Baru setelah beberapa waktu diputar di bioskop.
Max Havelaar (Peter Faber) digambarkan sebagai seorang tokoh idealis yang sangat mencintai isteri dan anaknya. Ketika ia diangkat sebagai asisten residen Lebak, ia harus berhadapan tidak hanya dengan pemerintah Belanda, tetapi juga dengan penguasa lokal, Bupati Lebak (Elang Ademan Soesilaningrat) yang menggunakan kekuasaannya untuk memeras rakyat. Di sana, ia juga bertemu dengan dua anak pribumi, Saijah dan Adinda (Neni Zulaeni). Akhirnya, ia dipecat dan kembali ke Belanda.
3. Merdeka 17805 (2001)
Merdeka 17805 atau Murudeka 17805 adalah film drama perang yang dirilis pada tahun 2001. Film ini merupakan hasil kolaborasi antara rumah produksi film Jepang dan Indonesia. Cerita dalam film ini didasarkan pada kisah nyata perjuangan sejumlah personel Tentara Kekaisaran Jepang yang turut berperan dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Film ini berlatar pada masa Perang Dunia II, di mana sekelompok Tentara Kekaisaran Jepang di Jawa, Indonesia, memilih untuk ikut berjuang dalam Perang Kemerdekaan Indonesia setelah kekalahan Jepang. Film ini menampilkan sisi lain dari masa pendudukan Jepang di Indonesia yang sering dilupakan oleh generasi muda, yaitu peran sukarelawan Jepang dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
4. The Act of Killing (2012)
The Act of Killing (Jagal) adalah film dokumenter eksperimental tahun 2012 yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer, dengan Christine Cynn dan seorang sutradara Indonesia yang tidak disebutkan namanya. Film ini mengikuti individu-individu yang terlibat dalam pembunuhan massal di Indonesia pada tahun 1965–66, di mana orang-orang yang diduga komunis dan mereka yang menentang rezim Orde Baru disiksa dan dibunuh. Para pembunuh, banyak di antaranya menjadi gangster, masih berkuasa di seluruh negeri. Film ini sebagian besar difilmkan di Medan, Sumatera Utara, menceritakan Anwar Kongo.
Setelah Gerakan 30 September tahun 1965, Presiden Indonesia Sukarno digulingkan oleh Jenderal Soeharto, yang menciptakan rezim yang diawali dengan pembunuhan lebih dari satu juta orang yang diduga komunis, termasuk pendukung Sukarno, anggota Partai Komunis Indonesia, serikat buruh, tani, dan intelektual.

5. The Look of Silence (2014)
The Look of Silence (Senyap) adalah film dokumenter produksi bersama internasional tahun 2014 yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer tentang pembunuhan massal di Indonesia pada tahun 1965–66. Film ini merupakan pendamping dari film dokumenternya tahun 2012, The Act of Killing. Produser eksekutifnya adalah Werner Herzog, Errol Morris, dan Andre Singer. Film ini dinominasikan pada Academy Award untuk Fitur Dokumenter Terbaik di Academy Awards ke-88.
Film ini mengikuti Adi Rukun, seorang dokter mata paruh baya asal Indonesia, yang hidup di lingkungan yang selalu dihantui kesedihan orang tuanya atas pembunuhan brutal kakak laki-lakinya dalam Pembersihan Komunis Indonesia tahun 1965. Peristiwa ini terjadi dua tahun sebelum kelahiran Adi. Adi menyaksikan cuplikan video dari proyek The Act of Killing milik Oppenheimer, yang memperlihatkan orang-orang yang membunuh saudaranya. Hal ini mendorong Adi untuk mengunjungi dan mewawancarai beberapa pembunuh dan kolaborator mereka—termasuk pamannya—dengan dalih pemeriksaan mata. Meskipun tidak ada pembunuh yang mengungkapkan penyesalannya, putri salah satu dari mereka terlihat terguncang ketika mendengar rincian pembunuhan tersebut. Di antara konfrontasi tersebut, terdapat adegan ibu Adi yang sudah tua dan ayah Adi yang hampir tuli dan buta.
6. Balibo (2009)
Balibo adalah film Australia tahun 2009 yang mengangkat kisah peristiwa Balibo Five. Film ini diadaptasi dari buku berjudul "Cover-Up" karya Jill Jolliffe.
Diproduksi oleh Arenafilm di Australia, film ini disutradarai oleh Robert Connolly. Pengambilan gambar dimulai pada 30 Juni 2008 di Dili, Timor Leste.
Balibo memenangkan penghargaan Best Australian Film pada Australian Film Critics Association tahun 2009. Di Indonesia, film ini dilarang beredar oleh Lembaga Sensor Film. Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, menyatakan pelarangan ini bertujuan untuk menghindari "pandangan negatif dunia" terhadap Indonesia.
(aln)