G.M. Sudharta

Bernama lahir Gerardus Mayela Sudarta, namun setelah berganti keyakinan ia merubah namanya menjadi Gafur Muhamad Sudarta.
Lahir di Klaten, Jawa Tengah, 20 September 1945. Lahir dan besar di lingkungan keluarga yang memegang teguh adat Jawa, ia dikenal sebagai kartunis dengan karikatur tepo seliro (tenggang rasa).
Gambar – gambar karikaturnya walau men’cubit’ namun tetap mengundang senyum. Menurutnya, sebuah karikatur dinilai berhasil bila dapat mengkritik tanpa menyinggung suatu pihak.
Usai menamatkan SMA di Klaten, tahun 1965, ia meneruskan pendidikan ke ASRI Yogyakarta. Semasa kuliah, sempat menjadi kartunis di majalah Merah Putih, Jakarta 1966.
Di tahun yang sama, bekerja sama dengan Pramono mendesain diorama Monumen Nasional. Ia juga ikut andil dalam desain pembangunan Monumen Pahlawan Revolusi Lubang Buaya.
Sebagai karikaturis GM Sudarta peka menangkap berbagai fenomena sosial, ekonomi, politik dan budaya di tanah air. Sejak awal menapaki karir sebagai pengisi kolom karikatur kompas di tahun 1967.
GM Sudarta telah melahirkan ratusan karya. Namun namanya sudah terlanjur identik dengan Oom Pasikom yang kerap menyapa para pembaca harian Kompas.
Peraih penghargaan Adinegoro 1983 dan 1984 ini lebih banyak menghabiskan waktu di kediamaan yang asri di Klaten dan ia membangun Graha Budaya Sekartaji sebagai konstibusi konkrit bagi masyarakat Klaten.
Keliek Siswoyo

Boss Doyok atau penciptanya adalah seorang pria berusia menjelang senja, Keliek Siswoyo, kelahiran Kota Gede, Yogyakarta.
Di masa remajanya ia merantau ke Jakarta menantang nasib. Ia terlunta-lunta di Tanjung Priok, dan tempat nongkrongnya adalah di sekitar Bioskop Permai yang terletak di pinggiran by pass.
Di sana para pengangguran, setengah pengangguran dan mereka yang ingin bebas dari kekangan rutinitas berkumpul.
Keliek Siswoyo memiliki bakat melukis dan membuat kartun sejak duduk di SMP. Akan tetapi ia belum berani mengirimnya ke media cetak.
Ketika nongkrong di Bioskop Permai itu bersama teman-temannya yang berasal dari berbagai suku, Keliek melihat ada Surat Kabar Harian Pos Kota, satu koran ibukota dengan bidikan pasar kalangan bawah.
Pasar Pos Kota adalah kalangan di mana Keliek Siswoyo hidup, sehingga dengan mudah ia turun ke dalam isi berita harian tersebut.
Setiap minggu Pos Kota menyediakan ruangan bagi kartunis muda untuk menampilkan karyanya, lewat Pos Kota Minggu. Ke sanalah Keliek kemudian mengirimkan gambar-gambarnya dan sering dimuat.
Pengasuh rubrik itu adalah pelukis dan juga kartunis senior Leo Purwono. Ia melihat ada kepekaan sosial dalam kartun karya Keliek Siswoyo.
Pos Kota kemudian menerbitkan Lembaran Bergambar (Lembergar), yaitu sisipan dua kali seminggu berisi kartun, lukisan, komik, vignet, puisi bergambar dan sebagainya.
Melihat sambutan pasar begitu antusias, maka pimpinan koran tersebut menerbitkan Lembergar setiap hari. Leo kemudian memanggil Keliek untuk bergabung, menciptakan tokoh kalangan bawah yang kritis terhadap keadaan sekitarnya.
Mas Keliek Siswoyo banyak bicara bila dipancing tentang dunia musik atau film, terutama musik dan film di era 1970-an dan 1980-an yang banyak dinikmatinya. Juga saat dimintai tanggapan pada isu-isu sosial politik yang disaksikannya di teve dan termuat di koran.
Kelucuan Mas Keliek ada pada karyanya, pada gambar-gambarnya. Pada tokoh Doyok, yang sering tampil dalam kisah-kisah sarkastis. Kritik sosial yang disampaikan dengan nada pahit, sarkasme.
Kartunis media lain menghormatinya sebagai seniman produktif yang tak pernah berhenti berkarya, ketika mereka hanya bisa tampil sesekali, atas pertimbangan halaman atau upaya menjaga kualitas. Mas Kelik adalah pekerja seni, yang hadir setiap hari.
(edh)