
Bilal kemudian harus menjadi hamba sahaya bersama adiknya, Ghufaira. Bilal menghabiskan waktu hingga dewasa melayani sang tuan, Umayyah ibn Khalaf yang keji, beringas yang merupakan pemimpin kaum penyembah berhala.
Sejak kecil, Bilal selalu termotivasi menjadi untuk menjadi seorang kesatria. Satu nasihat sang ibu yang selalu ia kenang, bahwa seorang yang berjiwa besar dan kesatria adalah manusia yang bisa melepaskan belenggu. Bukan belenggu rantai yang mengikat tangan dan kaki, tetapi melepas belenggu di hati yakni dendam dan pemarah.
Sejak kecil, Bilal selalu mempertanyakan eksistensi berhala yang ada di lingkungan Mekkah. Sistem kehidupan sosial Mekkah kala itu membuatnya tak yakin dengan berhala yang dipuja oleh masyarakat, karena hanya menguntungkan kaum kaya raya dan menindas mayarakat kecil dan hamba sahaya seperti dirinya. Ia pun mencari siapa Tuhan Yang Maha Esa.

Setelah bertemu dengan pembawa pesan kedamaian yang membawa agama Tuhan Yang Maha Esa, Bilal pun makin yakin dengan mimpinya menjadi manusia merdeka. Untuk menjadi manusia merdeka, banyak perjuangan yang dilalui, namun karena yakin dengan ajaran Tuhan Yang Maha Esa, Bilal pun kuat menghadapinya.