JAKARTA - Sebanyak 11 komposer bersatu untuk menyatakan sikap terkait beberapa isu krusial yang berkaitan dengan masa depan, kesejahteraan, serta keadilan bagi para pencipta lagu.
Diketahui, 11 komposer tersebut adalah Ahmad Dhani, Piyu, Rieka Roslan, Badai, Yovie Widianto, Denny Chasmala, Dee Lestari, Ade Govinda, Posan Tobing, Pika Iskandar, dan Sandy Canester.
Pernyataan itu diungkapkan dalam sebuah siaran pers yang dirilis pada Selasa (18/4/2023). Dalam rilis yang didapatkan Okezone terdapat sebanyak 4 poin penting yang dijabarkan.
Berikut ini isi lengkap pernyataan sikap tersebut:
Dapatkah pencipta lagu tidak memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan lagu ciptaannya?
Kesimpulan kami: BISA. Pencipta lagu dapat tidak memberi izin pihak lain untuk menggunakan lagu ciptaannya.
Mari kita tinjau terlebih dahulu beberapa ayat dalam UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014:
1. Berdasarkan ayat 1 Pasal 1, Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
2. Hak Cipta ini melekat selama seumur hidup pencipta hingga 70 tahun setelah penciptanya meninggal.
3. Hak eksklusif pencipta terdiri dari Hak Moral dan Hak Ekonomi. Terkait hak moral, seperti yang tertulis pada butir e ayat 1 Pasal 5, pencipta dapat mempertahankan haknya bila terjadi distorsi, mutilasi, modifikasi atas ciptaannya, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Sementara hak ekonomi, seperti yang tercantum di ayat 2 dan 3 pasal 9, yakni setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi atas suatu karya wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
Untuk mendapatkan hak ekonomi secara optimal, pencipta perlu menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Dalam hal ini, kami semua adalah anggota LMK bernama Wahana Musik Indonesia (WAMI). Para pencipta lalu menandatangani kontrak yang memberikan kuasa kepada WAMI untuk memungut royalti atas nama pencipta. Sementara, hak eksklusif pencipta untuk memberi izin/tidak memberi izin pihak lain membawakan lagunya tetap melekat kepada pencipta. Hal tersebut terungkap pada surat kuasa pencipta terhadap WAMI yang menyatakan bahwa:
“WAMI sebagai penerima kuasa diberikan hak untuk melarang/memberi izin kepada pihak lain atas penggunaan/pemakaian karya cipta lagu/musik dari pemberi kuasa selaku pencipta/pemegang hak cipta sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang hak cipta.”
Jadi, apabila pencipta sudah menyatakan ke LMK untuk melarang seseorang/grup tertentu untuk membawakan lagu ciptaannya, LMK harus menginformasikannya kepada orang/grup tersebut, dan juga kepada EO terkait saat meminta izin lisensi. Apabila setelah ketiadaan izin tersebut disampaikan, dan pihak tertentu tadi tetap membawakan lagu yang dimaksud, maka sang pencipta bersama-sama dengan LMK dapat menggunakan ayat 2 pasal 113 mengenai sanksi pidana atas membawakan karya tanpa izin.
Dalam kasus seperti di atas, menurut hemat kami langkah tersebut sudah sesuai dengan UU dan peraturan yang berlaku.
2. Dalam perkembangan yang terjadi belakangan, beberapa pihak lantas menyatakan bahwa hak pencipta untuk tidak memberikan izin penggunaan karyanya tidaklah berlaku selama pengguna sudah melakukan perjanjian dan pembayaran royalti kepada LMK seperti yang tercantum pada ayat 5 Pasal 23, yakni: “Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.” Opini itu juga diperkuat dengan merujuk ke ayat 4 Pasal 87, bahwa pemanfaatan Ciptaan secara komersial oleh pengguna tidaklah dianggap sebagai pelanggaran sepanjang pengguna telah melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif.
Berikut tanggapan kami:
Untuk menjawab argumentasi terkait pasal 23 dan 87 tersebut diatas, beberapa dari pencipta lagu yang memiliki kasus relevan mencoba melakukan pembuktian. Mereka telah mendatangi dan bertanya kepada LMK dan LMKN tentang pembayaran royalti atas beberapa konser/pertunjukan musik terkait lagu mereka. Sampai hari ini, para pencipta lagu tsb tidak mendapatkan jawaban pasti maupun laporan penerimaan dari daftar acara yang dipertanyakan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa LMKN dan pihak penyelenggara (EO) tidak melaksanakan kewajiban mereka seperti yang diperintahkan oleh UU, dan sudah jelas terjadi pelanggaran terhadap UU Hak Cipta.
Dalam kasus di mana telah terbukti adanya pelanggaran, maka kami berpendapat bahwa pencipta lagu mempunyai hak untuk TIDAK memberikan izin penggunaan lagu kepada penyanyi/grup yang terkait. Sebagai konsekuensinya, pencipta lagu pun tidak mendapatkan hak ekonomi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9.
3. Beberapa pihak menyuarakan kekhawatiran mengenai sistem pemungutan royalti yang bersifat kolektif akan kolaps apabila pencipta lagu diperbolehkan tidak memberikan izin kepada pihak lain untuk membawakan lagunya.
Berikut tanggapan kami:
Pada dasarnya pencipta lagu yang berkarya dan kemudian mendaftarkan diri ke LMK adalah untuk mendapatkan hak ekonomi yang maksimal atas karyanya. Para pencipta lagu tidak mungkin membatasi khalayak umum—musisi kafe, pengamen, dsb—untuk tidak membawakan karya ciptanya. Kami meyakini bahwa pelarangan spesifik kepada pihak-pihak tertentu tidak akan dilakukan sembarangan oleh pencipta lagu, dan tidak lantas membuat seluruh sistem pemungutan kolektif kolaps.
4. Dalam Pasal 87 UUHC dinyatakan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif menarik imbalan yang wajar dari pengguna atas pemanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik bersifat komersial.
Sudah menjadi pengetahuan umum antara komposer dan LMK bahwa pendapatan royalti dari performing rights tidaklah besar. Pada laporan per kuartal (4 bulanan) yang diterima komposer, angka ini berkisar antara puluhan ribu hingga ratusan ribu saja, bahkan untuk komposer terkenal dengan ratusan lagu sekalipun.
Kami mempertanyakan apakah besaran itu wajar? Apakah ini mengindikasikan prosentase untuk royalti lagu yang terlampau kecil, atau tidak disiplinnya penyelenggara acara melapor kepada LMK sehingga hanya sedikit yang membayar, atau faktor inefisiensi serta transparansi dari sistem pemungutan dari LMKN, atau ketiganya?
Untuk itu, kami meminta kepada Pemerintah/LMKN untuk membuat SOP (juklak & juknis) dari pelaksanaan Pasal 23 UUHC, sehingga mekanisme pembayaran royalti performing right terlaksana dengan lebih efisien dan merata. Kami juga mengimbau agar pihak manajemen penyanyi / pengisi acara dapat mengingatkan pihak pengundang acara untuk membayar hak dari pencipta lagu-lagu yang mereka bawakan. Dengan demikian, kami berharap pembayaran royalti performing rights dapat ditegakkan dan menjadi praktik umum pada setiap acara," isi pernyataan tersebut.*
(CLO)