Kala itu, Lukman Sardi merasakan bagaimana rasanya terpuruk dan hancur dimana bulir-bulir air mata sudah hampir menetes di pipi. Tapi di balik itu, seolah ada kekuatan yang entah darimana datangnya, mendorong agar tetap optimis untuk bisa melewati keterpurukan itu meski tak tahu bagaimana hasilnya nanti.
“Saya merasakan terpuruk. Ada rasa ingin menangis tetapi di balik itu ada rasa optimisme, entah bisa dicapai atau enggak. Itu yang saya rasakan. Saya belum pernah menemukan seperti itu,” sambungnya.
Ketika membacakannya, Lukman menyadari bahwa hidup adalah untuk terus berjuang dan bertahan sampai pada titik dimana nantinya sudah tak ada yang bisa dilakukan lagi. Sebelum sampai di titik itu, terus berjuang dan memberikan yang terbaik adalah satu-satunya pilihan dalam hidup.
"Pas saya baca, terus saya mikir saya hidup untuk apa? Survive, kasih yang terbaik, menang, jadi sesuatu pilihan sampai disaat titik tertentu kita sebagai manusia gak bisa apa-apa," tuturnya.
(ltb)