Bagi Ketua LSF, hal tersebut menjadi wajar karena mayoritas pendudukan Indonesia beragam Islam. Namun hal itu tak layak jika menggambarkan adanya pelecehan maupun penistaan agama Islam.
"Tiga orang penjahatnya bercambang dan bertampilan agak kasar, sebagaimana layaknya tampilan penjahat pada umumnya. Satu diantaranya memakai celana pendek bukan celana cingkrang. Oleh karena itu jauhlah dari gambaran saudara-saudara kita yang sering dipandang sebagai radikal/teroris, karena jenggot dan model celananya. Sebagai film setting Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim bisa-bisa saja penjahatnya beragama Islam. Sama wajarnya jika dalam negara yang mayoritas penduduknya non muslim penjahat non muslim. (Seperti dalam film Home Alone misalnya)," papar Ahmad Yani.
Secara lebih lanjut, Ketua LSF berharap pecinta film Indonesia bisa lebih rinci dalam pengamatan film yang disaksikan. Cuplikan adegan dalam film Naura Dan Genk Juara ini dianggap berbeda dari penistaan agama yang dimaksudkan karena setiap adegan yang dilakukan terhitung manusiawi sesuai dengan mayoritas agam yang dianut masyarakat di Indonesia.
"Ketika si penjahat di tengah malam di hutan lagi ketakutan karena mengira ada hantu, salah satunya berdoa. Karena dia muslim dia bacanya doa Islam. Tapi yang dibaca salah 'comot', yaitu doa mau makan. Karena itu ditegur temannya, doanya salah, doa makan. Ketahuan penjahatnya muslim- ya karena dia baca doa itu, yang cenderung latah-latah juga. Tapi tidak ada penggambaran spesifik atau kesan penegasan bahwa muslim itu jahat," ungkap Ketua LSF.
"Tidak bedanya jika ada film tentang kasus korupsi lalu koruptornya di dalam bui berdoa atau shalat, itu sama sekali tak berarti merepresentasikan Islam/umat Islam itu jahat. Bagi LSF, tidak terlihat adanya bagian yang secara jelas mendiskreditkan Islam. Untuk memahami film "Naura dan Genk Juara" ini kiranya memang perlu menonton langsung filmya," tutupnya.
(aln)