JAKARTA – Rapper asal California, Kendrick Lamar, bukan hanya dikenal karena prestasi musiknya, tetapi juga sikap kritisnya terhadap isu sosial.
Peraih 22 Grammy Awards dan Pulitzer Prize ini telah menjual jutaan album, dari Good Kid, M.A.A.D City hingga To Pimp a Butterfly, tanpa satu pun yang gagal di pasaran.
Melansir dari USA Today, penampilannya di halftime show Super Bowl dan kontroversinya dengan Drake menambah sorotan terhadap kariernya
Kendrick Lamar Duckworth lahir di Compton, California, pada 17 Juni 1987. Kedua orang tuanya pindah dari Chicago untuk menjauh dari kekerasan geng. Ayahnya, Kenneth “Kenny” Duckworth, pernah terlibat dengan geng Gangster Disciples, sementara ibunya, Paula Oliver, bekerja sebagai penata rambut.
Keluarga ini hidup di rumah subsidi Section 8, mengandalkan bantuan sosial, dan pernah mengalami tunawisma.
Dalam wawancara dengan LADbible pada 2015, Lamar mengenang masa kecilnya ketika menyaksikan seorang pria ditembak mati di depan mata. “Itu membuat saya sadar bahwa ini bukan sekadar pemandangan, tetapi sesuatu yang mungkin harus saya biasakan,” ujarnya.
Sebagai pemenang Pulitzer Prize yang pernah merasakan hidup tanpa rumah tetap, Lamar kerap menggambarkan kerasnya kehidupan di lingkungannya dalam lagu-lagunya. Banyak teman masa kecilnya terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan kekerasan, yang menjadi latar kuat dalam lirik-liriknya.
Pengalaman tumbuh di Compton menjadi sumber inspirasi utama Lamar.
Dalam lagu Barbed Wire (2010), ia menulis:
“Compton, California
Have you ever felt like, like you never get life?
Like you never get right?
Sort of like a black sheep…
Oh what a cold world for a broke n****.”
Lirik ini menggambarkan sulitnya memperoleh kehidupan layak saat lahir dalam kemiskinan dan marginalisasi. Istilah “kambing hitam” mencerminkan stigma dari masyarakat.
Ia melanjutkan kritiknya pada ketidakadilan struktural:
“My opportunities are low because my brown complexion floats in the ghetto
rather than in some heels like Giuseppe's
They want me unemployed, until I hit the streets…
Messed up my prestige, till I live with the blues.”
Bait ini menyoroti terbatasnya kesempatan akibat warna kulit dan stereotip yang mengaitkan warga kulit hitam dengan lingkungan miskin dan pengangguran atau kriminalitas.
Dalam lagu Alright (2015), Lamar mengarahkan kritiknya langsung kepada kekerasan oleh aparat yang dialami oleh orang berkulit hitam:
“And we hate po-po
Wanna kill us dead in the street for sure.”
Melansir dari Complex, lagu ini menjadi simbol perlawanan komunitas kulit hitam terhadap kekerasan polisi dan kerap terdengar dalam aksi protes gerakan #BlackLivesMatter.
Fenomena yang disorot Lamar sejalan dengan data penelitian. Menurut University of Illinois Chicago Law Enforcement Epidemiology Project (2022), setiap tahun sekitar 250.000 warga sipil cedera akibat tindakan aparat, termasuk 75.000 yang dirawat di rumah sakit, dan lebih dari 600 meninggal.
Dari seluruh warga yang mengalami ancaman atau penggunaan kekerasan oleh polisi, 15 persen berujung pada cedera.
Data Mapping Police Violence (2023) menunjukkan warga kulit hitam 2,8 hingga 3 kali lebih mungkin tewas akibat polisi dibanding warga kulit putih.
Laporan The Sentencing Project (2022) juga mengungkap perbedaan perlakuan dalam pemeriksaan lalu lintas: pengemudi kulit hitam digeledah sebesar 6,2 persen, Latin 9,2 persen, sementara pengemudi kulit putih hanya 3,6 persen.
(kha)