Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Evolusi Musik Indonesia: Nostalgia 8 Dekade dalam Simfoni

Raisya Hanna Andriani , Jurnalis-Selasa, 05 Agustus 2025 |13:30 WIB
Evolusi Musik Indonesia: Nostalgia 8 Dekade dalam Simfoni
Isyana Sarasvati tampil di Jakarta Concert Orchestra (Foto: Hanna/Istimewa)
A
A
A

JAKARTA - Suasana hangat dan penuh kenangan menyelimuti Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, pada Sabtu malam, 2 Agustus, saat Jakarta Concert Orchestra (JCO) menghadirkan konser tahunan Simfoni untuk Bangsa yang kali ini mengusung tema “8 Dekade Musik Indonesia”. 

Lebih dari sekadar pertunjukan, konser ini menjadi perjalanan lintas waktu yang mengajak penonton mengenang, merayakan, sekaligus menyelami perkembangan musik Indonesia, dari lagu-lagu perjuangan hingga karya-karya populer era digital.

Dengan formasi kolaboratif antara JCO, Batavia Madrigal Singers (BMS), The Resonanz Children's Choir (TRCC), Armonia Choir, dan sejumlah solois berbakat lintas generasi, konser ini menghadirkan karya-karya musik populer dari tiap dekade sejak tahun 1945. 

Dipimpin oleh konduktor ternama, Avip Priatna, konser terasa lebih dari sekadar hiburan; ia menjadi ruang kolektif bagi memori, kebanggaan, dan harapan.

“Kami tidak hanya memainkan lagu-lagu lama, tapi juga menyelami konteks dan semangat yang membentuknya. Musik merekam zaman, dan kami ingin menyampaikannya kembali dalam bentuk yang utuh,” jelas Avip dalam konferensi pers sebelum konser.

Jakarta Concert Hall

Setiap Dekade Punya Cerita

Konser dibuka dengan rentang tahun 1945–1955, masa penuh semangat kemerdekaan. Lagu-lagu seperti Medley Lagu Perjuangan, Berkibarlah Benderaku, dan Indonesia Pusaka kembali menggema, menghidupkan rasa cinta Tanah Air. 

TRCC membawakan Berkibarlah Benderaku dengan penghayatan yang kuat, jadi pembuka yang langsung mengena ke hati.

Tahun 1955–1965 membawa suasana yang lebih hangat dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Lagu Tiga Dara dinyanyikan ceria oleh trio muda, membawa penonton ke masa keemasan film dan radio Indonesia. 

Sementara Bengawan Solo dan Nurlela menambah suasana haru lewat lirik-lirik yang lembut dan menyentuh.
Masuk ke dekade 1965–1975, musik jadi ruang untuk merenung di tengah situasi negara yang sedang tegang. 

 

Isyana Sarasvati tampil dengan lagu Tuhan, didukung paduan suara BMS. Suasana jadi hening dan khidmat, memperlihatkan bagaimana musik bisa jadi pelipur lara saat situasi tak pasti.

Tahun 1975–1985 memberi warna yang lebih personal dan emosional. Lagu Galih dan Ratna serta Badai Pasti Berlalu dibawakan penuh perasaan.  Sebagai penyeimbang, TRCC tampil manis lewat Medley Titiek Puspa yang ringan dan menghibur.

Masuk dekade 1985–1995, era pop dan rock mulai mendominasi. Lagu Tua-Tua Keladi hingga Selamat Datang Cinta membangkitkan kenangan masa remaja.  Banyak penonton ikut bernyanyi, membuat suasana semakin hidup.

Tahun 1995–2005 jadi penanda lahirnya musik dari ruang-ruang indie. Lagu Ada Apa dengan Cinta menutup bagian ini, membawa penonton bernostalgia ke era film remaja yang ikonik dan lirik yang penuh rasa.

Di rentang 2005–2015, musik mulai merangkul era digital. Dari Kasih Putih hingga Laskar Pelangi, tiap lagu punya makna kuat dalam perjalanan masyarakat yang mulai berubah secara sosial dan budaya.

Menjelang akhir konser, periode 2015–2025 memperlihatkan warna musik yang lebih beragam dan ekspresif. Lagu Rungkad, Lathi, sampai karya orisinal Selalu Ada di Nadimu menunjukkan bahwa musik kini adalah tempat bebas untuk berekspresi. 
Isyana kembali tampil lewat lagu Lexicon, menjadikan puncak emosional yang megah dan dramatis.

Sebagai penutup manis, Isyana dan Farman Purnama berduet dalam lagu Berharap Tak Berpisah. Seluruh penonton ikut bernyanyi, menciptakan momen yang hangat dan menyatukan semua generasi dalam satu ruangan.

Lebih dari Sekadar Pertunjukan

Menurut Karen Laurencia dari Batavia Madrigal Singers, proses seleksi lagu telah berlangsung sejak awal tahun, melalui banyak diskusi demi memastikan tiap dekade terwakili secara tepat. 

“Banyak lagu hebat yang harus kami seleksi. Kami mencari yang bukan hanya populer, tapi juga representatif secara emosi dan konteks,” jelasnya.

Kebebasan dalam interpretasi aransemen diberikan kepada para musisi, agar setiap lagu bisa disampaikan dengan nuansa segar tanpa menghilangkan ruh aslinya. Pendekatan ini terbukti membuat pertunjukan tak hanya menghibur, tapi juga menyentuh.

Lebih dari sekadar konser, Simfoni untuk Bangsa merupakan bukti bahwa musik Indonesia tidak pernah berhenti hidup. Ia tumbuh bersama rakyat, melintasi batas waktu dan genre. 

Dengan keberhasilan tahun ini, pertunjukan ini tidak hanya merayakan musik, tetapi juga merawatnya agar tetap relevan untuk generasi yang akan datang.
 

(kha)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita celebrity lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement