JAKARTA - Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah telah resmi menikah. Baru membangun biduk rumah tangga, Atta menyampaikan pendapat kontroversi.
Dalam podcast bersama Ashanty di akun Youtube The Hermansyah A6. Dalam kesempatan tersebut Atta tampak membeberkan prinsip yang harus disepakati olehnya dan Aurel sebelum akhirnya mantap melangkah ke jenjang selanjutnya. Termasuk Aurel yang harus mengabdi pada suami serta menuruti setiap perkataan suami.
"Kalau sudah berkeluarga, aku udah kepala keluarga bukan pas waktu tunangan. Izin suami, suara suami adalah dari Tuhan. Kalau aku nggak izin ini, kamu harus nurut, nggak bisa kayak sebelumnya," ucap Atta dalam podcastnya bersama Ashanty di akun Youtube The Hermansyah A6.
Baca Juga:
Aurel Hermansyah Tak Pakai Kerudung, Atta Halilintar: Nanti Dibilangin Pelan-Pelan
Krisdayanti Ungkap Fakta Mengejutkan Soal Kista Aurel Hermansyah
Komentar tersebut ternyata berbuntut panjang, Atta mendapatkan sorotan dari Komnas Perempuan. Pihak Komnas Perempuan bahkan menilai bahwa Atta memiliki sikap patriarki, yakni menempatkan wanita di bawah laki-laki.
Tak hanya itu, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah juga menyebut bahwa ucapan Atta merupakan sebuah bentuk ketidakadilan gender. Lantaran segala sesuatu yang akan dilakukan Aurel boleh dilakukan namun atas seizinnya, yang mana hal itu merupakan bentuk hilangnya hak dari putri Anang Hermansyah tersebut.
"Komnas Perempuan tentu prihatin dan kecewa atas pernyataan Atta Halilintar yang patriarkis dan menjadikan lembaga perkawinan atau keluarga sebagai media untuk melanggengkan bentuk-bentuk ketidakadilan gender," ucap Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah.
"Bentuk ketidakadilan gender yang dilanggengkan adalah subordinasi, yaitu perempuan dianggap sebagai bukan pengambil keputusan, tapi ditentukan oleh suami. Perempuan yang berstatus istri kehilangan haknya untuk ikut menentukan atau memutuskan rumah tangga seperti apa yang akan dibangun," tambahnya.
Tak hanya itu, Siti juga menanggapi soal keinginan Atta memiliki 15 anak. Menurutnya, Atta menganggap bahwa perempuan merupakan 'pabrik' anak.
"Seperti misalkan keinginan untuk memiliki anak 15 orang, sudahkah hal ini disepakati? Perempuan tidak bisa diposisikan sebagai 'pabrik' anak saja, perempuan memiliki hak untuk menentukan kapan, berapa jumlah anak dan jarak setiap anak dalam perkawinan," tegasnya.
(aln)