JAKARTA - Bulan Januari 2011 pemerintah lewat Kementrian Keuangan memutuskan untuk menghentikan film impor dari peredaran. Sontak saja, keputusan yang digodok bertahun-tahun itu membuat banyak orang panik.
Motion Picture Association of America (MPAA) mencabut peredaran film-filmnya di Indonesia. Pencabutan ini karena MPAA tidak setuju dengan kebijakan Dirjen Bea Cukai yang menetapkan bea masuk atas hak distribusi bagi film-film asing yang masuk ke Indonesia. MPAA tidak setuju dengan kebijakan itu.
MPAA merupakan gabungan dari perusahaan film terbesar di Amerika yang filmnya didistribusikan hampir ke seantero dunia. Tercatat, Walt Disney Company, Sony Pictures, Paramount Pictures, 20th Century Fox, Universal Studios, Warner Bros merupakan salah satu perusahaan film yang tergabung dalam MPAA.
Bagi masyarakat, mereka tentu akan kehilangan salah satu sarana hiburan berupa film-film Hollywood ditengah maraknya film horor seks Indonesia. Selain para importir film, yang paling terancam tentu saja pengusaha bioskop. Bisnis mereka terancam gulung tikar karena film yang ditayangkan sedikit dan akan berimbas pada sepinya penonton. Hanya mengandalkan film lokal yang mayoritas bergenre horor seks tentu sebuah perjudian yang berat.
Tak heran ketika keputusan itu digaungkan, pihak 21 Cineplex buru-buru mengirim siaran pers terkait dampak ditariknya film impor dari peredaran.
Dengan akan merosotnya jumlah penonton film (impor) ke bioskop, maka eksistensi industri bioskop di Indonesia akan terancam.
"Menghadapi hal seperti ini, kami merasa sangat prihatin. Hanya berharap dan berdoa, mereka datangkan kembali. Tapi kami juga berharap Dirjen Pajak dalam hal ini bea cukai meninjau kembali keputusannya. Bioskop 21 Cineplex punya sekitar 500 layarnya di Indonesia. Sebagai pihak yang diberi hak untuk menayangkan film impor akan kehilangan pasokan ratusan judul film setiap tahun. Itu layar akan menganggur, bahkan bisa ditutup kalau tidak ada yang bisa ditayangkan," papar juru bicara 21 Cineplex, Noorca M Massardi kala itu.
Keputusan pemerintah saat itu cukup beralasan. Mereka menaikkan pajak film asing di Tanah Air dengan tujuan memprioritaskan film-film nasional. Kebijakan ini kemudian memicu boikot dari para importir film. Keputusan pemerintah menaikan pajak film asing tidak serta merta disambut gembira sineas Indonesia. Pada kenyataannya, untuk film produksi dalam negeri sendiri juga dikenakan pajak bertingkat yang jika dijumlah mengalahkan pajak film asing.
Karena itulah, sikap ambigu pemerintah banyak ditanggapi sinis para filmmaker Indonesia. Wacana penghapusan pajak untuk film produksi dalam negeri terus menguak dan terus dijanjikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik tanpa tahu kapan benar-benar terealisasi.
"Menbudpar sudah berapa kali bicara seperti itu. Sampai mulutnya berbusa. Tapi mana buktinya? Jadi kalau belum benar-benar terjadi, ya cuekin saja Menbudpar. Omongannya tidak pernah terbukti. Ini sudah pemerintahnya tidak becus, importirnya juga bermasalah. Yang salah itu importirnya. Karena tiga importir PT Camila Internusa, PT Satrya Perkasa Estetika dan PT Amero Mitra Film ini mereka masih utang," ketus pengamat film, Ekky Imanjaya saat berbincang dengan okezone beberapa waktu lalu.
Ketiga importir film bermasalah yang disebut Ekky tadi, PT Camila Internusa, PT Satrya Perkasa Estetika milik grup 21 dan PT Amero Mitra Film diaudit dan hasilnya ditemukan tunggakan pajak sebesar Rp30 miliar. PT Camila Internusa Film memegang hak distribusi film-film produksi Sony/Columbia Pictures, Universal dan Paramount. Sementara, PT Satrya Perkasa Esthetika Film memegang hak distribusi untuk film produksi Walt Disney, 20th Century Fox, dan Warner Bros. Akhirnya, sejumlah importir itu dibekukan. Hasil audit yang dilakukan pada 2010 terhadap mereka itulah yang ikut melatarbelakangi kebijakan pemerintah terkait film impor.
Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.011/2011 sebagai jalan tengah antara pemerintah dengan importir. Pemerintah menetapkan biaya Rp21 ribu per menit untuk setiap salinan film asing yang diimpor. Dari kebijakan itu, pemerintah mempersilakan para importir mendaftarkan diri untuk memasok film asing ke Indonesia. Hasilnya, PT Omega Film yang berhak memegang distribusi terhadap film-film box office Hollywood dari MPA.
Terlepas dari praktek monopoli dan hubungannya dengan importir lama yang bermasalah, PT Omega Film langsung langsung memasok film-film Hollywood ke Indonesia.
Film-film impor pun kembali datang meski masih menyisakan masalah pajak yang belum selesai. Film Harry Potter and The Deathly Hallows II dipilih Omega Film menjadi film pertama yang diputar serentak di bioskop sejak 29 Juli 2011.
Kebijakan ini sedikit meredam gejolak di masyarakat yang menunggu hampir enam bulan. Selama ini, penikmat film memang menjadi korban dari dosa dan kesalahan kebijakan yang dilakukan pemerintah dan para pengusaha yang bergerak di industri film. Paling tidak, pemerintah dan importir telah berupaya menebus dosanya.
(rik)