Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Pejuang Pop, Lebarkan Sayap Hingga ke Negara Tetangga

Pejuang Pop, Lebarkan Sayap Hingga ke Negara Tetangga
Adimaja saat tampil bersama Ruby and the Long Story (Foto: Ist)
A
A
A

Pop biasanya diiringi dengan kata musik di depannya, musik pop. Tapi, tak banyak yang tahu apa itu pop jika diiringi dengan kata culture atau budaya.

Muhammad Adimaja ialah satu dari sekelompok kecil kalangan yang mengetahui apa itu pop culture. Cumi, begitu dia biasa disapa. Tidak hanya mengamati perkembangan budaya pop di Indonesia, Cumi juga mencoba terjun langsung dalam persebaran dan penanaman budaya pop di kalangan anak muda.

Budaya pop berkembang di Indonesia pada awal 1990. Tak salah memang mengaitkan kata pop dengan musik. Budaya pop memang berangkat dari jenis musik pop yang menjamur di kalangan anak muda kala itu. Beat musik yang pelan dan mengalir membawa warna baru bagi dunia musik Indonesia yang saat itu dirajai jenis-jenis musik yang lebih keras dengan beat yang kencang.

Demam musik pop ternyata tidak hanya mewabah di Jakarta. Bandung pun tidak mau ketinggalan. Beberapa grup musik pun bermunculan. Cherry Bombshell, Pure Saturday, Kubik dan Rumah Sakit adalah sedikit dari grup musik pada masa itu yang cukup berhasil. Kiblat mereka jelas mengarah ke Britania Raya, atau lebih dikenal dengan Brith Pop, yang memang menjadi awal dari sejarah terciptanya budaya pop di dunia.

Demam pop di Indonesia memang hanya menjangkit sebagian kecil generasi muda, tapi sangat berdampak pada perubahan gaya dan penampilan mereka. Kaos bertuliskan nama grup-grup musik pop ternama pun mulai digemari. Headphone juga kerap kali digunakan sebagai aksesoris multifungsi. Sebagai piranti untuk mendengarkan musik, sekaligus sebagai pelengkap busana yang dikenakan.

Dampak paling menonjol adalah munculnya berbagai komunitas pop di Jakarta dan Bandung, serta terselenggaranya berbagai acara yang bernafaskan pop di dua kota tersebut. “Saya beruntung bisa menjadi saksi sejarah perkembangan budaya dan musik pop waktu itu. Yah, meskipun saya masih kecil waktu itu,” tutur pemuda kelahiran 14 Agustus 1986 itu bangga.

Budaya pop itu sebenarnya mempunyai dasar yang bagus untuk bisa berkembang lebih luas. Hanya saja, jenis musik yang dijadikan sebagai media penyampai kurang bisa diterima dengan baik oleh para pendengar. “Sampai sekarang juga masih susah untuk menyebarluaskan pop culture, padahal dasarnya kan bagus. Musiknya slow, jadi lebih damai. Tidak rusuh. Tidak saling mengejek dan menjatuhkan. Tapi mungkin kuping masyarakat kita lah yang belum cocok sama jenis musik beginian,” cerita Cumi kecewa.

Sulitnya menularkan demam pop kepada generasi muda tidak lantas membuat anak kedua dari tiga bersaudara ini menyerah begitu saja. Cumi lalu membuat majalah Funzine pada 2000. Majalah ini memang bukan majalah indie pop pertama yang muncul di Indonesia. Tapi eksistensi majalah yang sudah mencapai tahun ke- tujuh ini patut diacungi jempol. Berisikan informasi mengenai grup musik pop independen lengkap dengan pembahasan tokoh–tokoh di balik layar kesuksesan grup musik tersebut, ternyata cukup mampu menarik minat pembeli.

Sebagai pengelola dan pemilik Funzine, alumni Universitas Mercu Buana ini memang tidak membatasi siapa saja yang boleh membeli dan membaca hasil karyanya itu. Menurutnya, yang penting isi pesan yang terdapat dalam majalah itu bisa sampai ke pembaca. “Asal punya uang Rp5.000 dan bisa baca sok lah, silakan saja beli dan jadi pembaca. Bebaslah siapa saja boleh baca. Saya bikin majalah ini kan buat menyebarkan informasi. Kalau yang tidak tahu jadi tahu. Yah syukur sih kalau jadi suka sama band-band yang saya review,” lanjut Cumi dengan logat khas Sundanya.

Penulis sekaligus editor Funzine ini diam-diam sudah mengeluarkan 25 edisi majalah. Memang jumlahnya hanya sekira 25 hingga 50 eksemplar per edisi, tidak sebanding dengan majalah komersial lainnya. “Kalau majalah-majalah itu mah modalnya besar. Saya kan cuma industri rumahan. Modalnya juga hanya master layout majalah dan fotokopi. Masternya Rp20 ribu sama fotokopi. Jadi setiap 10 eksemplar akan mendapat uang Rp20 ribu,” cerita pemuda yang gemar mengenakan kaos berlabel Fred Perry.

Pendistribusian Funzine ini pun berbeda dari majalah biasa. Funzine ini hanya diedarkan di tiga kota besar di Indonesia,  Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Di Jakarta, pemuda 24 tahun itu menitipkan majalahnya untuk diperjualbelikan di Heyfolks, sebuah distro di bilangan Mayestik, Kebayoran Baru. Sementara di Bandung, Funzine dititipedarkan di Screammouse, dan VOX di Jogja.

Uniknya, pemilik tunggal Funzine ini hanya menitipkan lima eksemplar majalah di masing-masing tempat tersebut. Sisanya, biasanya diperjualbelikan melalui pemesanan via telepon dan email, atau saat grup musiknya, Ruby and The Long Story tampil dalam beberapa pertunjukkan musik. Hanya saja untuk pemesanan via telepon dan email konsumen dikenakan ongkos kirim Rp2.000-Rp3.000.

Selain ketiga kota tersebut, vokalis dan keyboardis Ruby and The Long Story itu kini melebarkan sayapnya hingga ke negara tetangga. Cumi, kini juga mendistribusikan majalah buatannya ke Malaysia, Singapura dan Thailand. Jumlah yang terjual memang tidak banyak, hanya sekira lima eksemplar di masing-masing negara. Tapi untung bersih yang didapat cukup lumayan sekira Rp100 ribu per negara.

Cumi juga mengakui, dirinya tidak mematok harga jual Funzine di tiga negara tersebut. “Saya sih terserah mereka yang jual di sana saja. Terserah  mau kasih harga berapa. Kadang malah saya tidak dapat untung. Ongkos kirim ke sananya via pos agak mahal sih. Bisa sampai Rp50 ribu sekali pengiriman. Makanya kadang saya pake via email. Nanti teman saya di sana yang urus cetaknya,” cerita mahasiswa pascasarjana itu, sambil sesekali mengisap rokoknya.

Penggemar Morrissey dan The Smiths ini mengakui, ada beberapa faktor yang membuat produksi Funzine terhenti beberapa waktu. “Haha, saya sering malas mengerjakan sendiri 36 halaman Zine. Kadang capek. Tapi terus saya ingat Zine ini untuk kemajuan musik pop juga. Biar lebih banyak yang tahu dan suka,” akunya.

Zine ini juga yang sudah membawa saya mewawancarai band-band sekelas Edson, Penny Century dan Fugu, waktu mereka datang ke Indonesia,” lanjut pemuda berambut keriting itu sambil tersenyum.

Kesetiaan pria yang memiliki akun Facebook Adicumi Sastroputro ini, tidak hanya sampai di situ. Dia bersama beberapa temannya membuat komunitas penggemar musik pop dengan nama Monopop Tangerang Indiepop Community sejak 2001. Komunitas ini bukan hanya mengumpulkan anak muda penyuka musik pop di daerah Tangerang, tapi juga menggelar pertunjukkan musik. Endah n Resha, Ruby and The Long Story, Pure Saturday serta Tika and The Dessident adalah beberapa grup musik pop asal Jakarta dan Bandung yang pernah tampil dalam acara komunitas penyuka musik dan budaya pop tersebut.

Pengirim:
Eka Nurhayati, Mahasiswa UPN "Veteran" Jakarta

(mbs)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita celebrity lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement